Bojonegoro - Perajin gerabah "layah wajan" (tempat membuat sambal dan pengorengan) di Dukuh Karo, Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Bojonegoro, kesulitan modal untuk mengembangkan usahanya.
"Kami biasanya bisa mendapatkan uang dari pengepul gerabah mentah di sini, sebelum membuat gerabah," kata seorang perajin gerabah layah wajan, Khoiriyah (54), Sabtu.
Hal senada disampaikan perajin lainnya, Moniah (40), mengenai kesulitan mendapatkan uang untuk biaya produksi yang sudah berjalan setahun ini. Di desa yang berada di tepian Bengawan Solo tersebut, ada sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang mengkhususkan membuat layah wajan.
Sebelum ini, para perajin bisa mendapatkan pinjaman sekitar Rp150 ribu dan cara pembayarannya dengan menyetor gerabah binatang yang belum dibakar, sepekan kemudian. Pinjaman tersebut, dimanfaatkan untuk biaya produksi membeli tanah atau makan sehari-hari.
Biasanya, menurut Moniah, juga Khoiriyah, perajin gerabah layah wajan juga membuat gerabah binatang yang disetorkan kepada pengepul untuk membayar hutangnya itu. Namun, menurut mereka, pengepul yang biasanya menampung gerabah binatang tersebut, sudah tidak menerima , dengan alasan pemasaran gerabah binatang setahun terakhir sulit, terganggu hujan.
"Karena tidak mendapatkan pinjaman untuk makan sekarang berhutang ke warung," kata Moniah.
Menurut Moniah, para perajin dalam setahun terakhir, hanya mengandalkan gerabah layah wajan yang dipasarkan sendiri, di Bojonegoro, juga Cepu, Jateng. Dia mencontohkan, dirinya membuat gerabah layan wajan bersama ibunya, dan suaminya yang bekerja mencari tanah, sedangkan yang menjual gerabah layan wajan tersebut, anaknya Abdul Kholik.
"Semua perajin disini bekerja seperti kami," jelasnya.
Keluarga Moniah mengaku, dalam sepekan mampu memproduksi gerabah layah, wajan, juga "ngaron" (tempat mencuci piring), sekitar 200 buah. Harga di pasaran, untuk layah dan wajan Rp2.000,00, sedangkan ngaron harganya bisa mencapai Rp5.000,00.
"Biasanya anak saya, sehari bisa membawa pulang uang sekitar Rp60 ribu sampai Rp70 ribu," kata Moniah.
Menurut Moniah juga Khoiriyah, kalau saja ada bantuan modal, bisa meringankan para perajin gerabah dalam memproduksi gerabah. Alasannya, penghasilan yang diperoleh dari menjual berbagai aneka gerabah tersebut, selalu kurang karena dimanfaatkan untuk membayar hutang di toko sembako di desa setempat.
"Hampir semua perajin layah wajan masuk keluarga miskin, seperti kami ini," kata Moniah, sambil menunjukkan tulisan keluarga miskin yang tertempel di depan rumahnya. ***2***
Sumber : antarajatim
"Kami biasanya bisa mendapatkan uang dari pengepul gerabah mentah di sini, sebelum membuat gerabah," kata seorang perajin gerabah layah wajan, Khoiriyah (54), Sabtu.
Hal senada disampaikan perajin lainnya, Moniah (40), mengenai kesulitan mendapatkan uang untuk biaya produksi yang sudah berjalan setahun ini. Di desa yang berada di tepian Bengawan Solo tersebut, ada sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang mengkhususkan membuat layah wajan.
Sebelum ini, para perajin bisa mendapatkan pinjaman sekitar Rp150 ribu dan cara pembayarannya dengan menyetor gerabah binatang yang belum dibakar, sepekan kemudian. Pinjaman tersebut, dimanfaatkan untuk biaya produksi membeli tanah atau makan sehari-hari.
Biasanya, menurut Moniah, juga Khoiriyah, perajin gerabah layah wajan juga membuat gerabah binatang yang disetorkan kepada pengepul untuk membayar hutangnya itu. Namun, menurut mereka, pengepul yang biasanya menampung gerabah binatang tersebut, sudah tidak menerima , dengan alasan pemasaran gerabah binatang setahun terakhir sulit, terganggu hujan.
"Karena tidak mendapatkan pinjaman untuk makan sekarang berhutang ke warung," kata Moniah.
Menurut Moniah, para perajin dalam setahun terakhir, hanya mengandalkan gerabah layah wajan yang dipasarkan sendiri, di Bojonegoro, juga Cepu, Jateng. Dia mencontohkan, dirinya membuat gerabah layan wajan bersama ibunya, dan suaminya yang bekerja mencari tanah, sedangkan yang menjual gerabah layan wajan tersebut, anaknya Abdul Kholik.
"Semua perajin disini bekerja seperti kami," jelasnya.
Keluarga Moniah mengaku, dalam sepekan mampu memproduksi gerabah layah, wajan, juga "ngaron" (tempat mencuci piring), sekitar 200 buah. Harga di pasaran, untuk layah dan wajan Rp2.000,00, sedangkan ngaron harganya bisa mencapai Rp5.000,00.
"Biasanya anak saya, sehari bisa membawa pulang uang sekitar Rp60 ribu sampai Rp70 ribu," kata Moniah.
Menurut Moniah juga Khoiriyah, kalau saja ada bantuan modal, bisa meringankan para perajin gerabah dalam memproduksi gerabah. Alasannya, penghasilan yang diperoleh dari menjual berbagai aneka gerabah tersebut, selalu kurang karena dimanfaatkan untuk membayar hutang di toko sembako di desa setempat.
"Hampir semua perajin layah wajan masuk keluarga miskin, seperti kami ini," kata Moniah, sambil menunjukkan tulisan keluarga miskin yang tertempel di depan rumahnya. ***2***
Sumber : antarajatim