 Bisa
 jadi, tidak banyak orang yang tahu bahwa di Bandung pada tahun 70 
sampai awal tahun 80an pernah terbangun sebuah komunitas yang penuh 
dengan dinamika keakraban berbasis teknologi frekuensi radio. Orang 
kebanyakan hanya tahu CB, Handy Talky, 2 meteran, radio OZ, Mara, YG, 
RRI, atau radio Garuda yang beken karena dongeng yang dilontarkan oleh 
Kang Rahmat Dipraja, dan bah jangkung, bahkan hanya tahu radio Dahlia 
yang pernah punya program siaran dongeng pasosore abah kabayan dengan 
“Si buntung jago tutugan”
Bisa
 jadi, tidak banyak orang yang tahu bahwa di Bandung pada tahun 70 
sampai awal tahun 80an pernah terbangun sebuah komunitas yang penuh 
dengan dinamika keakraban berbasis teknologi frekuensi radio. Orang 
kebanyakan hanya tahu CB, Handy Talky, 2 meteran, radio OZ, Mara, YG, 
RRI, atau radio Garuda yang beken karena dongeng yang dilontarkan oleh 
Kang Rahmat Dipraja, dan bah jangkung, bahkan hanya tahu radio Dahlia 
yang pernah punya program siaran dongeng pasosore abah kabayan dengan 
“Si buntung jago tutugan” Komunitas itu adalah pengguna frekuensi radio 3 MHz dengan gelombang radio 100/cepe meter, Seringkali frekuensi ini disebut frekuensi “kolong” /underground/ karena tanpa izin secewirpun dan frekuensinya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan komunitas pengguna frekuensi berizin yaitu 3,5 MHz (80 meter). Pengguna frekuensi ini sering menyebut dirinya sebagai “barudak cepe meter”. Call sign nya pun sesuai selera masing-masing dan terkesan seenaknya “Depong”, “Jean Belel” , “Badjred” , “Komeng” , Bejo”, dan banyak lagi. Tentu saja callsign seperti itu tidak akan pernah menggambarkan apakah briker senior atau bukan seperti pada callsign ORARI yang didahului YD, YC atau YB sebagai simbol kasta senioritas dan ketrampilan beramatiradio. Namun di frekuensi “underground” cepe meter inilah justru nuansa kreativitas khas Bandung terlontar.
Jika ingin berkomunikasi dengan sesama breaker, maka kita harus menyamakan frekuensi pemancar (TX) kita dengan pemancar yang sudah “on air” duluan . Caranya adalah dengan memutar-mutar variabel condensator logam pada rangkaian osilator pemancar sampai frekuensinya sama (zero beat). Proses penyamaan frekuensi ini sangat membutuhkan “feeling”. Jika frekuensinya sudah sama, maka kita tinggal tereak brik…brik ! Tentu saja bermain dengan TX model begini membutuhkan pengalaman cukup agar bisa trampil. Tidak seperti pesawat komunikasi CB atau 2 meter yang tinggal trek…trek memutar nomor chanel. Obrolan di 100 meter bersifat terbuka dan dapat didengar oleh siapapun yang berminat mendengar, asal punya radio transistor SW band. Oleh sebab itu, para pemain cepemeter terkadang suka iseng menjadikan pemancarnya studio radio siaran liar (broadcasting) dengan memutar lagu populer sambil bercuap layaknya penyiar radio kawakan.
Komunitas cepe meter mungkin “ekslusif” karena tidak semua orang mampu berkreasi, sabar berekperimen, atau menyolder komponen elektronik agar bisa meningkatkan daya pancar dan kualitas audio pemancar (TX). Ada nuansa lomba kemampuan terselubung dalam proses ini, tapi justru inilah kekuatan komunitas cepe meter menjadi lebih mengasikkan. Dorongan untuk terus belajar teknologi radio pada sesama anggota komunitas dan berekperimen menjadi sebuah candu yang membuat cepemeter sulit ditinggalkan. Dibandingkan dengan alat komunikasi yang “branded” seperti yang digunakan oleh CB dan 2 meteran, 100/cepe meter lebih menantang , termasuk tantangan bagaimana terhindar dari sweeping..!
 
 
Pemancar
 (TX) yang digunakan semuanya adalah rakitan dan sebagian besar 
menggunakan tabung radio yang dirangkai bersamaan dengan capasitor , 
resistor, varco logam dan beberapa lilitan untuk menentukan frekuensi 
kerja. Umumnya TX ini terdiri dari Osilator (tabung 6v6,), buffer 
(tabung 6L6) dan final (tabung 807 atau 813). Komponen utama tabung 
inilah yang mengharuskan kita hati-hati  karena pesawat pemancar 
memerlukan voltase tinggi antara 400 sampai 1000 Volt yang dinaikkan 
oleh trafo step up yang dipesan khusus dari pasar cikapundung. Frekuensi
 kerjanya adalah 3 Mhz maka panjang gelombangnya sekitar 300 : 3 = 100 
meter. Dengan menggunakan antenna ¼ lambda maka panjang antenna harus 
minimal 25 meter. Itulah sebabnya para anggota komunitas cepe meter 
sulit menyembunyikan diri dari sweeping karena di rumahnya terbentang 
kabel antenna dari depan rumah sampai belakang dengan menggunakan tiang 
bambu. Beberapa cepener mencoba bereksperimen dengan antene lebih pendek
 dengan mengulungnya pada pralon, namun hasilnya ngaberebet ke TV 
tetangga. Sekali lagi itulah salah satu dinamika bermain di cepe 
meter….lucu, menegangkan,….tapi menantang untuk lebih kreatif ! 
Sekarang teknologi komunikasi sudah banyak berubah, ekpresi kreativitas tidak lagi digelontorkan di cepe meter, tapi di blog atau pada frekuensi lebih tinggi (VHF) sehingga antenapun tidak perlu dibentang oleh tiang bambu, tapi cukup dengan setengah meter batang alumunium, bahkan hanya disisipkan dibalik casing sebuah handphone…..Namun prinsip kerja pemancar pada dasarnya sama…Itulah sebabnya banyak alumni cepemeter berkiprah di dunia teknologi komunikasi radio frekuensi tinggi seperti HP atau studio radio siaran dan siaran komunitas yang bekerja dengan sistem modulasi frekuensi.
Brik, brik….brik…. sero bit teu ?…….GO HED !!
Sekarang teknologi komunikasi sudah banyak berubah, ekpresi kreativitas tidak lagi digelontorkan di cepe meter, tapi di blog atau pada frekuensi lebih tinggi (VHF) sehingga antenapun tidak perlu dibentang oleh tiang bambu, tapi cukup dengan setengah meter batang alumunium, bahkan hanya disisipkan dibalik casing sebuah handphone…..Namun prinsip kerja pemancar pada dasarnya sama…Itulah sebabnya banyak alumni cepemeter berkiprah di dunia teknologi komunikasi radio frekuensi tinggi seperti HP atau studio radio siaran dan siaran komunitas yang bekerja dengan sistem modulasi frekuensi.
Brik, brik….brik…. sero bit teu ?…….GO HED !!






 RSS Feed
      RSS Feed
      Twitter
      Twitter
      Facebook
      Facebook