Ki
Lurah Bagong Sugiyanto demikian gelar yang diberikan keraton
Surakarta kepada Bagong sang penabuh kendang asal Sragen. Lahir dengan
nama Sugiyanto, ayahnya seniman senior Sastro Suparto promotor grup
karawitan Mardi Laras, adalah yang memperkenalkan dunia seni dan yang
pertama kali menjulukinya Bagong.
Kepiawaian Bagong menabuh
kendang selama 49 tahun juga telah diakui bukan hanya di level lokal
saja. Ia berhasil memecahkan rekor dari Musium Rekor Indonesia (Muri).
Yakni sebagai penabuh kendang terlama nonstop tanpa henti 17 jam 17
menit 17 detik pada hari jadi Kota Solo ke 259. Kendang dimainkan
dengan kolaborasi musik modern diiringi tari.
Prestasi Bagong, bukan berhenti
sampai itu saja. Nama Bagong di dunia seni mancanegara cukup
diperhitungkan. Setelah beberapa kali didaulat mengikuti pentas
bersama Duta kesenian Indonesia di berbagai belahan dunia, diantaranya
negara London, Perancis dan Yunani. Tiket untuk menonton kepiawaiannya
menabuh selalu ludes terjual dibeli oleh para penikmat seni di negara
–negara tersebut.
Terjun di Dunia Seni
“Awal
ketertarikan menjadi penabuh kendang karena sejak kecil saya selalu
ikut Bapak saat pentas. Saya selalu dipangku pak Darmo Mendol penabuh
kendang hingga ketiduran. Witing Tresno Jalaran Seko Kulino, karena
tiap hari bergelut dengan kendang, timbul rasa cinta,” kenang Bagong.
Ilmu yang didapat secara
otodidak telah mengantarkan Bagong menjuarai setiap perlombaan porseni
saat duduk di bangku sekolah, baik tingkat kabupaten dan provinsi.
Merasa memiliki kemampuan di berbagai bidang seni diantaranya
karawitan, tari dan mendalang. Maka Bagong memutuskan melanjutkan studi
Akademi Seni Karawitan Indonesia yang kini berubah menjadi Institut
Seni Indonesia Surakarta.
Selepas lulus sarjana muda, Pria
kelahiran 23 Oktober 1960 ini dilirik kampus tempatnya mengenyam
pendidikan yang melihat potensi di dirinya, langsung menariknya menjadi
tenaga pengajar di ISI Surakarta. Di ISI Bagong memiliki banyak
mahasiswa, bukan hanya mahasiswa lokal tapi banyak juga mahasiswa
asing.
“Murid saya meskipun orang
asing tapi lebih serius untuk mempelajari budaya Jawa. Ada yang dari
Jepang Perancis, London dan Belanda karena rata-rata ditugaskan oleh
negaranya agar sekembalinya bis a mengajar di Negara asalnya. Kalau
orang Indonesia asal bisa saja sudah puas, tidak mau meningkatkan
kemampuan,” katanya.
Untuk mengapresiasikan karyanya
ia memilih untuk tergabung dalam grup karawitan Gandang Sukowati.
Namanya mencuat ketika menjuarai lomba seni tingkat nasional yang
diselenggarakan Departemen Penerangan pada tahun 1987.
Pucuk dicinta ulam tiba,
setelah itu tawaran bergabung dengan Duta Kesenian Indonesia untuk
menghibur warga negara Indonesia di berbagai belahan dunia pun datang.
“Pengalaman paling mengesankan
ketika pentas di Perancis, kendang saya tak boleh dibawa pulang oleh
penggemar dari sana. Saya berikan karena dia berminat tinggi
mempelajari menabuh kendang,” ungkapnya.
Aktivitas rutin Bagong saat ini
adalah mengiringi Bupati Sragen Untung Wiyono mendalang di berbagai
tempat yang membuat namanya terus berkibar di jagat seni. Ia juga terus
aktif di Dewan kesenian Daerah Sragen (DKDS).
Darah Seni Mengalir ke Anak-anak
Seniman
serba bisa ini bertekad untuk terus melestarikan budaya Jawa,
terbukti dua dari empat anaknya mengalir kuat darah seni. Yakni Pandu
Gandang Sasongko dalang cilik yang menyabet juara satu dalang bocah
tingkat karesidenan Surakarta, dan juara 2 tingkat Provinsi. Sementara
Dwi Endarti putri pertamanya yang masih berkuliah di ISI Surakarta
memilih menjadi penari profesional.
Ia berpesan kepada generasi muda
jangan sampai budaya asli Jawa tergerus jaman, jangan sampai
terkalahkan dengan budaya asing. Ia juga menghimbau kepada seniman lain
untuk menjaga keaslian gending Jawa dengan tidak melanggar pakem yang
ada, seperti dengan seenaknya menggabungkan gending Jawa dengan musik
dangdut. (Rin – Humas)